Rabu, 07 Desember 2011
PARIWISATA KOTA MAGELANG
MAKANAN KHAS MAGELANG
Pasar Rejowinangun tinggal kenangan. Kamis malam, 26 Juni 2008, pasar ini kebakaran. Lihat link-nya di sini:
Penjual es dawet yang semuanya masih sanak famili.
Es dawet semangkok yang harganya murah tetapi rasanya enak zekali
Dawet yang dibuat dari tepung beras asli jadi rasanya sungguh enak.
Cincau hijau yang rasanya dingin segar menyehatkan
Jajan Pasar
Pintu masuk sebelah utara yang penuh dengan pedangan makanan
Pedangan jajan pasar berderet di pintu masuk utara.
Oleh-oleh khas magelang dan jawa tengah ada di sini, lengkap dan murah.
Kalau kau bertanya pada orang-orang di Jawa Tengah: apa yang khas
dari kota Magelang? Jawabannya sebagian besar akan berkata Gethuk
Magelang. Ya…gethuk memang makanan khas Magelang. Gethuk ini dibuat
dari singkong yang direbus lalu ditumbuk sampai halus. Gethuk yang
dibuat di sini terasa lain dibandingkan dengan gethuk dari tempat lain.
Baik rasanya maupun teksturnya, lembut, halus dan enak lagi. Saat ini
banyak sekali gethuk dibuat dalam kemasan-kemasan. Salah satu merek
yang terkenal adalah Gethuk Trio. Tapi sebenarnya masih banyak merek
yang lain, antara lain: Eco, Marem, Nyak Week, dan lain-lain.
Itu semua merek gethuk yang dibuat oleh pabrik gethuk. Semua merek
itu sebenarnya adalah gethuk yang ikut-ikutan. Ada gethuk asli Magelang
yang dibuat oleh anak keturunan pembuat gethuk asli Magelang. Tidak
banyak yang tahu kalau dulu gethuk yang paling enak dibuat oleh Mbah Ali
Gondok sekitar tahun 1940-an. Gethuk buatan Mbah Ali sangat enak
sekali. Keenakan dan kenikmatan gethuk ini terdengar sampai di
mana-mana. Bahkan sampai ke luar kota Magelang. Mbah Ali yang berasal
dari desa Karet Magelang pun menjadi terkenal pula.
Setelah Mbah Ali Gondok meninggal usaha ini diteruskan oleh
anak-anaknya. Kemudian dilanjutkan pula oleh cucu-cucunya. Lalu oleh
cicit-cicitnya. Jadi sekarang sudah sampai generasi ke-3. Saat ini
anak keturunan Mbah Ali Gondok berjualan gethuk di sekitar Pasar Gede
Magelang. Ada sekitar 8 orang yang berjualan gethuk, 6 orang adalah
keturuan Mbah Ali Gondok. Dua orang yang lain bukan.
Salah satunya adalah Mbak Tinah (Agustinah) yang berjualan di dekat
gerbang pintu masuk pasar. Mbak Tinah adalah cicit Mbah Ali Gondok.
Di bagian bawah dekat tiang gerbang sebelah kanan itulah tempat Mbak Tinah berjualan.
Mbak Tinah sedang sibuk melayani pelanggannya.
Apa keistimewaan gethuk buatan keturunan Mbah Ali ini sebenarnya?
Sebenarnya tidak banyak macam gethuk yang dibuat. Gethuk biasa yang
berasa coklat, hijau (pandan) dan pink. Lalu gethuk tiga warna. Ada
juga gethuk yang dibuat bulat dengan kombinasi putih dan coklat. Ada
juga gethuk yang dibuat bulat-bulat hanya dengan campuran gethuk asli
dan gula jawa. Gethuk ini dibuat agak kasar tidak sehalus gethuk yang
lain. Gethuk ini yang paling aku suka, karena rasanya natural. Mungkin
gethuk ini asli kreasi Mbah Ali Gondok.
Gethuk-gethuk itu biasanya dipotong kecil-kecil sebelum dijual.
Harganya pun murah sekali. Sebungkus hanya Rp. 1000 perak saja.
Tetapi selain gethuk Mbak Tinah juga menjual Klepon, makanan
berbentuk bola yang dibuat dari ketan, diisi gula jawa, dan dilapisi
dengan parutan kelapa muda. Lalu ada juga ongol-ongol, bentuknya hitam
dan tampak kurang menarik. Tapi makanan ini enak juga lho.
Klepon
Ongol-ongol
Gethuk buatan Mbak Tinah agak berbeda dengan gethuk buatan
saudara-saudaranya yang lain. Dari sisi warna memang gethuk buatan Mbak
Tinah semenarik yang lain, begitu juga rasanya. Yang istimewa adalah
Mbak Tinah tidak menggunakan bahan-bahan pengawet atau bahan-bahan
pemoles untuk mempercantik tampilan gethuknya. Putihnya tidak putih
sekali, agak sedikit mangkak, tetapi natural. Begitu juga dengan
warna-warna yang lain. Juga tidak menggunakan pengawet, jadi tidak
tahan lama. Paling banter cuma sehari.
Yang patut disayangkan adalah bagaimana anak keturunan Mbah Ali
meneruskan usaha ini. Mbah ali yang membuatnya dan mempopulerkannya,
tetapi anak keturuannya tidak bisa membesarkan usaha ini. Justru mereka
terpecah belah. Kata Mbak Tinah mereka tidak ada perkumpulan atau
persatuan.
Justru yang mengambil keuntungan adalah para warga keturunan China
yang punya insting bisnis kuat. Mereka membuat gethuk Magelang dengan
naluri bisnis dan bisa membesarkannya. Hampir semua merek gethuk
terkenal di Magelang milik warga keturunan. Tidak ada yang dimiliki
oleh anak keturunan Mbah Ali Gondok. Ini sangat disayangkan. Andaikan
mereka mau bersatu dan membersarkan gethuk warisan ini. Mungkin mereka
tidak akan berjualan kaki lima di sekitar pasar Gede Magelang.
Es Dawet
Ada lagi yang khas di Pasar Gede Magelang, yaitu jajanan Es Dawet.
Mungkin namanya biasa-biasa saja. Memang sepintas lalu tidak jauh
berbeda es dawet ini dengan es dawet di kota lain. Tetap setelah
mencicipi baru terasa bedanya.
Penjual es dawet letaknya agak ‘nylempit’ sedikit. Kalau masuk dari
pintu utara pasar, maka setelah lewat penjual-penjual makanan, lalau
setelah ada tangga naik, belok ke kiri. Jangan naik ke tangga karena
letaknya di lantai bawah, beloknya di depan pedangang kain. Jalan
kira-kira 15 meter akan ditemui penjual es dawet yang berderet-deret.
Mungkin ada sekitar penjual es dawet yang kumpul jadi satu di los itu.
Uniknya mereka semua satu saudara.
Penjual es dawet yang semuanya masih sanak famili.
Es dawet dijual dengan mangkok porselin kecil. Satu porsi murah banget.
Yang membuat es dawet ini enak adalah dawet-nya. Karena dibuat dari
tepung beras asli. Lalu gulanya adalah gula jawa tanpa pemanis. Agar
lebih enak ditambahkan cincau hijau. Mereka pun membuatnya ditempat.
Jadi kita bisa melihat mereka sedang memeras daun cincau atau sedang
memarut kelapa untuk santan.
Es dawet semangkok yang harganya murah tetapi rasanya enak zekali
Dawet yang dibuat dari tepung beras asli jadi rasanya sungguh enak.
Cincau hijau yang rasanya dingin segar menyehatkan
Jajan Pasar
Kebanyakan orang-orang dari luar daerah membeli oleh-oleh khas
Magelang di toko-toko penjual oleh-oleh di sisi barat pasar Gede. Ada
banyak toko di sana. Sebenarnya kalau mereka mau masuk sedikit aja ke
pasar, banyak juga lho oleh-oleh yang dijual di dalam pasar. Di sini
tidak kalah kualitasnya daripada yang dijual di toko. Tempatnya tidak
jauh kok, yaitu di pintu masuk sisi utara.
Pintu masuk sebelah utara yang penuh dengan pedangan makanan
Di sini banyak sekali dijual jajan pasar. Mulai dari kue-kue biasa,
sampai kue-kue tradisional khas magelang/jawa tengah. Misalnya saja:
rasikan, jenang, gethuk, dan lain-lain. Harganya pun pasti lebih murah
dari yang di toko. Saya lebih sering beli oleh-oleh di sini. Karena
bisa lebih dapat banyak, jadi lebih banyak yang bisa dioleh-olehi.
Kualitasnya juga bagus, rasanya enak, dan di sini bersih: tidak ada
lalat.
Pedangan jajan pasar berderet di pintu masuk utara.
Oleh-oleh khas magelang dan jawa tengah ada di sini, lengkap dan murah.
SEJARAH KOTA MAGELANG
Magelang adalah salah satu kota di provinsi Jawa Tengah. Kota ini terletak di tengah-tengah kabupaten Magelang. Karena memang dulunya Kota Magelang adalah ibukota dari Kabupaten Magelang
sebelum mendapat kebijakan untuk mengurus rumah tangga sendiri sebagai
sebuah kota baru. Kota Magelang memiliki posisi yang strategis, karena
berada di jalur utama Semarang-Yogyakarta. Kota Magelang berada di 15 km
sebelah Utara Kota Mungkid, 75 km sebelah selatan Semarang, dan 43 km sebelah utara Yogyakarta. Kota Magelang terdiri atas 3 kecamatan, yakni Magelang Utara, Magelang Selatan dan Magelang Tengah , yang dibagi lagi sejumlah kelurahan.
Hari Jadi Kota Magelang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 6 Tahun 1989, bahwa tanggal 11 April 907 Masehi merupakan hari jadi. Penetapan ini merupakan tindak lanjut dari seminar dan diskusi yang dilaksanakan oleh Panitia Peneliti Hari Jadi Kota Magelang bekerjasama dengan Universitas Tidar Magelang dengan dibantu pakar sejarah dan arkeologi Universitas Gajah Mada, Drs.MM. Soekarto Kartoatmodjo, dengan dilengkapi berbagai penelitian di Museum Nasional maupun Museum Radya Pustaka-Surakarta. Kota Magelang mengawali sejarahnya sebagai desa perdikan Mantyasih, yang saat ini dikenal dengan Kampung Meteseh di Kelurahan Magelang. Mantyasih sendiri memiliki arti beriman dalam Cinta Kasih. Di kampung Meteseh saat ini terdapat sebuah lumpang batu yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan Sima atau Perdikan.
Hari Jadi Kota Magelang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 6 Tahun 1989, bahwa tanggal 11 April 907 Masehi merupakan hari jadi. Penetapan ini merupakan tindak lanjut dari seminar dan diskusi yang dilaksanakan oleh Panitia Peneliti Hari Jadi Kota Magelang bekerjasama dengan Universitas Tidar Magelang dengan dibantu pakar sejarah dan arkeologi Universitas Gajah Mada, Drs.MM. Soekarto Kartoatmodjo, dengan dilengkapi berbagai penelitian di Museum Nasional maupun Museum Radya Pustaka-Surakarta. Kota Magelang mengawali sejarahnya sebagai desa perdikan Mantyasih, yang saat ini dikenal dengan Kampung Meteseh di Kelurahan Magelang. Mantyasih sendiri memiliki arti beriman dalam Cinta Kasih. Di kampung Meteseh saat ini terdapat sebuah lumpang batu yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan Sima atau Perdikan.
Untuk menelusuri kembali sejarah Kota Magelang, sumber prasasti yang
digunakan adalah Prasasti POH, Prasasti GILIKAN dan Prasasti MANTYASIH.
Ketiganya merupakan parsasti yang ditulis di atas lempengan tembaga.
Parsasti POH dan Mantyasih ditulis zaman Mataram Hindu saat
pemerintahan Raja Rake Watukura Dyah Balitung (898-910 M), dalam
prasasti ini disebut-sebut adanya Desa Mantyasih dan nama Desa
Glangglang. Mantyasih inilah yang kemudian berubah menjadi Meteseh,
sedangkan Glangglang berubah menjadi Magelang.
Dalam Prasasti Mantyasih berisi antara lain, penyebutan nama Raja
Rake Watukura Dyah Balitung, serta penyebutan angka 829 Çaka bulan
Çaitra tanggal 11 Paro-Gelap Paringkelan Tungle, Pasaran Umanis hari
Senais Sçara atau Sabtu, dengan kata lain Hari Sabtu Legi tanggal 11
April 907. Dalam Prasasti ini disebut pula Desa Mantyasih yang
ditetapkan oleh Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung sebagai Desa
Perdikan atau daerah bebas pajak yang dipimpin oleh pejabat patih. Juga
disebut-sebut Gunung SUSUNDARA dan WUKIR SUMBING yang kini dikenal
dengan Gunung SINDORO dan Gunung SUMBING.
Begitulah Magelang, yang kemudian berkembang menjadi kota selanjutnya
menjadi Ibukota Karesidenan Kedu dan juga pernah menjadi Ibukota
Kabupaten Magelang. Setelah masa kemerdekaan kota ini menjadi kotapraja
dan kemudian kotamadya dan di era reformasi, sejalan dengan pemberian
otonomi seluas - luasnya kepada daerah, sebutan kotamadya ditiadakan dan
diganti menjadi kota.
Ketika Inggris menguasai Magelang pada abad ke 18, dijadikanlah kota
ini sebagai pusat pemerintahan setingkat Kabupaten dan diangkatlah Mas
Ngabehi Danukromo sebagai Bupati pertama. Bupati ini pulalah yang
kemudian merintis berdirinya Kota Magelang dengan membangun Alun - alun,
bangunan tempat tinggal Bupati serta sebuah masjid. Dalam perkembangan
selanjutnya dipilihlah Magelang sebagai Ibukota Karesidenan Kedu pada
tahun 1818.
Setelah pemerintah Inggris ditaklukkan oleh Belanda, kedudukan
Magelang semakin kuat. Oleh pemerintah Belanda, kota ini dijadikan pusat
lalu lintas perekonomian. Selain itu karena letaknya yang strategis,
udaranya yang nyaman serta pemandangannya yang indah Magelang kemudian
dijadikan Kota Militer: Pemerintah Belanda terus melengkapi sarana dan
prasarana perkotaan. Menara air minum dibangun di tengah-tengah kota
pada tahun 1918, perusahaan listrik mulai beroperasi tahun 1927, dan
jalan - jalan arteri diperkeras dan diaspal. Document Actions
Langganan:
Postingan (Atom)